Air Manis Di Gunung Padang oleh: DJAVID BALAI PUSTAKA Jakarta 1973 Diterbitkan oleh: Balai Pustaka Dicetak oleh: Balai Pustaka BP No. 2433 Hak Pengarang dilindungi Undang-undang Gambar kulit dan dalam oleh : Dahlan Djazh ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ Ebook Re Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku – PP Assalam Cepu Kata Pendahuluan Bacaan anak-anak ini disusun atas dasar kebutuhan anak-anak dalam pembentukan diri pribadi dengan memperhatikan perkembangan jiwa menurut dasar psychologi. Tamzil ibarat yang terkandung dalam cerita-cerita ini dapatlah hendaknya memupuk budi pekerti yang luhur, membuang sifat iri hati dan dengki terhadap sesamanya serta membangkitkan jiwa- kepahlawanan dan rasa tanggung jawab. Mudah-mudahan usaha ini akan menambah hasrat anak-anak kita akan bacaan yang menarik sebagai pengisi jiwanya. Pengarang Jakarta, 17 Agustus 1971. 3 Jumadilakhir 1391 H. Untuk anakku tersayang: NURULHUDA (Devi) ISI BUKU Kata Pendahuluan ISI BUKU 1. PERJUANGAN SEEKOR HARIMAU DENGAN SEEKOR COBRA 2. AIR MANIS DI GUNUNG PADANG 3. TERTOLONG OLEH KEAHLIAN 4. SAHABAT KARIB 5. KARENA SEEKOR ANAK MERPATI 6. ASAL USUL TELAGA WARNA 7. PUTERA DAN PUTERI RAJA 8. KOTA AIR BANGIS 1. PERJUANGAN SEEKOR HARIMAU DENGAN SEEKOR COBRA Pak Hamid, seorang tukang sulap yang kerap kali datang mengunjungi sekolah-sekolah, mempertunjukkan kecakapannya. la dapat menjadikan seekor merpati menjadi dua ekor, dua buah bola menjadi empat atau lima bola, mengeluarkan makanan dari hidung atau telinga murid-murid dan lain-lain. Permainannya sangat meriangkan anak-anak sekolah dasar. la dapat menyuruh ularnya menari-nari mengikuti serulingnya. Bukan main riuh rendah suaranya di sekolah, kalau Pak Hamid berkunjung. Pada suatu hari Pak Hamid berjalan di jalan raya sambil membunyikan serulingnya. la menyandang sebuah bungkusan besar berisikan bermacam-macam alat sulap, antara lain sebuah keranjang tempat menyimpan seekor ular senduk yang tidak berbisa lagi. Ular ini sudah mendapat latihan dalam pertunjukannya. Dari jauh terlihat olehnya sekumpulan anak-anak sekolah sedang melempari seekor ular di tepi parit. Dengan keras ia berteriak: "Hai, anak-anak, jangan dilempari binatang itu! Kasihan kita melihatnya." Anak-anak itupun berhenti. Salah seorang dari mereka berkata: "Ular, ular, pak! Dia menjalar di parit itu." Tukang sulap memegang ular itu, lalu diperiksanya dengan cermat. Kiranya anak seekor cobra. Batang lehernya kena batu, tetapi ia belum mati, masih bernapas. "Biar saya ambil ular ini, saya pelihara baik-baik," ujarnya. Diurutnya leher ular itu perlahan-lahan sampai keekornya. Diperhatikannya dan dihembusnya kepala ular itu. Kelihatanlah mata cobra kecil itu bersinar kembali dan binatang itu mulai bergerak. Pak Hamid tak takut akan ular. karena biasa memelihara dan mendidik binatang-binatang guna permainan yang akan dipertontonkannya. "Hai anak-anak! Kalian pergilah ke sekolah. Beberapa hari lagi saya akan main sulap di sekolahmu!" katanya. Tiba di rumah dibaringkannya ular itu di dalam bakul yang di alas dengan kain-kain perca yang empuk. Ditetes-teteskannya susu panas ke dalam rahang ular itu. Sudah itu diletakkannya sebuah mangkok berisi susu hangat. Ditutupnya keranjang itu. lalu dikuncinya. Sore hari dibuka Pak Hamid keranjang itu. Segera ular itu menegakkan kepalanya, serta mendesir. Diulurkannya lidahnya yang bercabang dua itu dan berbuat seakan-akan hendak menyerang. "Ah, ah, jangan begitu anakku sayang," kata pak Hamid. "Sudah sembuh engkau rupanya. Mari kita bersahabat. Inilah katak untukmu, untuk menyehatkan engkau kembali." Ia memasukkan tangannya ke dalam sakunya, mengeluarkan seekor katak kuning, lalu menyodorkan binatang itu. "Tentu engkau sudah lapar betul, bukan?" ujar Pak Hamid. Ular senduk itu menangkap dengan tenang katak itu, menelannya serta menggerak-gerakkan tubuhnya. Pak Hamid mengusap-usap kepala ular itu perlahan-lahan, sampai ke ekornya. Ular itu diam saja. Tahu ia, bahwa orang yang merabanya itu, adalah orang yang menolongnya dari perbuatan nakal anak-anak sekolah. Pak Hamid berkata: "Kini kita bersahabat dan engkau kuberi nama Kerti, Kerti, Kerti ... mengerti? Kerti,... Kerti..., ayo berdiri ...!" Dibunyikannya Pak Hamid serulingnya. Lagu India mendengking di udara. Mendengar bunyi itu Kerti menegakkan dan menggoyang-goyangkan kepala; menggerakkan dan menggulungkan tubuhnya. Makin lama makin cepat Pak Hamid menghembus dan memutar-mutarkan serulingnya. Kelihatan pipi Pak Hamid mengembung dan matanya terbeliak. Kerti ikut menggerak-gerakkan kepalanya. Seluruh badannya bergulung ke kiri dan ke kanan. Telah beberapa kali Kerti ikut dalam pertunjukan sulap. Tetapi selalu ia berganti-ganti dengan ular senduk yang lama. Ular ini sudah beberapa hari sakit, tak mau makan. Pada suatu hari ia kedapatan mati dalam keranjangnya. Pak Hamid sangat bersedih hati, kehilangan seorang teman akrab. Maka dikuburkannya sahabatnya itu di belakang rumahnya. Pertunjukan sulap yang dilakukan Pak Hamid di dalam kota sudah selesai. Telah dua bulan lamanya ia mengunjungi sekolah-sekolah. Dalam pada itu Kerti yang mendapat penjagaan rapi dan makanan sehat, sudah menjadi cobra yang panjang. Pak Hamid hendak ke sekolah di luar kota yang jarang dikunjungi tukang sulap. Hendak dimeriahkannya anak-anak desa dengan pertunjukan-pertunjukan yang ajaib. Pergi ke kampung itu harus berjalan kaki dan melalui hutan lebat. Hal ini tak menjadi halangan bagi pak Hamid. Petualangan akan menambah pengalaman dan pengetahuan, yang sangat digemarinya. Setelah cukup perlengkapan, alat-alat bermain sulap dan makanan bekal dijalan, berangkatlah ia pukul satu siang. Digendongnya sebuah bungkusan besar, tetapi ringan. Di atas ini disandangnya keranjang berisi Kerti, sahabatnya untuk bermain. Inilah yang agak berat. Agak jauh juga perjalanan yang akan ditempuh Pak Hamid. Dikira-kiranya pukul lima sore ia akan sampai di desa yang dituju. Jalan yang dilaluinya penuh dengan pohon-pohonan. sehingga tidak terasa letih ia berjalan. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lebat. Hampir gelap barulah ia dapat meninggalkan tempat berteduh. Beberapa saat kemudian, terdengar olehnya bunyi berderak-derak di semak di tepi hutan itu. Dua buah mata bersinar-sinar menentangnya. Tegak bulu roma Pak Hamid. Tak salah lagi. Seekor harimau sedang mencari makan; barangkali yang kelaparan pula. Tak dapat Pak Hamid mengangkat kakinya. Menggigil ia ketakutan. Tiba-tiba harimau itu melompat ke jalan tidak berapa jauh dari padanya, siap hendak menerkam. Karena ketakutan Pak Hamid berbalik dan lari secepat-cepatnya. Terlemparlah bungkusan besar itu beserta keranjang Kerti ke tanah. Pak Hamid tersandung keranjang itu, jatuh terjerembab di rumput. Terbuka keranjang itu dan Kerti terguling di tanah. Terlihat oleh Kerti seekor harimau, tak berapa meter jaraknya. Segera ia menegakkan kepalanya yang seperti senduk itu, siap untuk menerkam. Tahulah ia, tuannya dalam bahaya. la menggulungkan badan. mematuk-matukkan kepalanya, mendesir-desir dan siap siaga. la mengerti, bahwa satu tamparan kaki harimau itu. dapat mencabut nyawanya. Tetapi ia tahu pula, bahwa satu gigitan yang berbisa pada muka. leher atau kulit harimau itu akan membawa maut pada raja hutan itu. Hal ini dimaklumi benar oleh sang harimau itu. Mencium bau manusia yang terdampar di tanah menambah selera harimau itu. Akan dicobanya menerkam dari belakang, lalu ia melompat masuk semak mengelilingi Pak Hamid. Tetapi Kerti ikut pula berputar, sehingga ia tetap berada di antara Pak Hamid dan sang harimau. Harimau berpikir: "Aku akan melompat tinggi-tinggi. melintasi ular, lalu kuterkam mangsaku itu. Terhindar aku dari gigitan ular itu!" Kertipun sudah memperhitungkannya dan telah siap siaga. Hari bertambah senja. Mata harimau dan mata Kerti kelihatan bersinar-sinar. Masing-masing sama-sama memperhatikan gerak gerik lawannya. Tak dapat lagi harimau menahan nafsunya, sebab itu kurang kewaspadaannya. Dengan membungkukkan badan melompatlah ia setinggi-tingginya, melayang di atas Kerti menuju Pak Hamid. Apa hendak dikata; sebagai panah lepas dari busurnya, moncong Kerti dapat menyambar leher harimau itu. Kerti mencengkamkan giginya yang berbisa itu. Dilontarkan Kerti tubuhnya yang panjang itu, lalu membelit batang leher harimau. Harimau. raja rimba, meraung kesakitan kena bisa dan kena cekik Kerti. Dengan sekuat tenaga kuku kaki mukanya mengoyak-ngoyak tubuh ular itu sampai hancur. Barulah ia lepas dari belitan Kerti. laun terhempas di tanah. Sejurus kemudian ia mati lesu tak bergerak lagi kena bisa ular cobra. Dua pahlawan gugur di tengah jalan, seekor mati karena hawa nafsu, yang lain mempertarungkan nyawanya sebab setia dan membalas budi baik tuannya. Rupanya tempat perjuangan itu dekat benar dengan desa yang dituju Pak Hamid. Raung harimau tadi mengejutkan penduduk kampung. Mereka berlompatan keluar rumah, masing-masing dengan tombak dan parang. Anjing-anjing pemburu dilepaskan dan mereka mengikuti jejak kemana anjing itu pergi. Sampailah mereka ke tempat harimau itu terhampar dan segera hendak menembak binatang buas itu. Pak Hamid berteriak: "Hai, jangan ditombak harimau itu. la sudah mati!" Diceritakan Pak Hamid apa yang sudah terjadi dan ularnyalah yang menolongnya dari bahaya maut. Penduduk kampung menguliti harimau itu. Cobra, yang bernama Kerti, telah hancur, dikuburkan dengan khidmad oleh Pak Hamid di bawah pohon yang rindang. "Sahabat karibnya yang setia telah mendahuluinya." ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 2. AIR MANIS DI GUNUNG PADANG Di ujung Muara sungai Arau ada sebuah bukit, yang menjorok ke laut. Bukit itu disebut orang Gunung Padang. Dahulu kala di situ terdapat sebuah mata air, yang tak putus-putusnya mengeluarkan air, yang manis rasanya. Beberapa wanita, yang telah menjelma menjadi bidadari, hidup di situ dengan amannya. Konon kabarnya mereka sangat cantik-cantik dan manis-manis, diam dalam istana yang bagus sekali. Jika mereka ingin memperlihatkan dirinya, barulah mereka dapat dilihat dan begitu pula istananya. Anehnya mereka tidak bisa tua dan cacat. Mereka selalu berwajah muda, molek, cantik dan selalu riang gembira. Sekali-sekali mereka memperlihatkan dirinya. Beberapa orang dari wanita cantik itu kadang-kadang muncul dengan melakukan pekerjaan baik di dekat bukit itu. Akan tetapi kehadiran mereka itu tidaklah selamanya membawa kebahagiaan; ada kalanya timbul bencana di desa muara sungai itu. Jika ada seorang anak gadis yang cantik dan jelita, maka sering bidadari-bidadari yang jahat melarikannya. Sampai di istana dijadikannya anak itu seorang tahanan. Kerjanya tidak lain dari membersihkan kamar tidur bidadari-bidadari itu. Seorang janda bernama Mariana, hidup seorang diri di dalam sebuah pondok. Pondok itu terletak di sebelah selatan bukit Air Manis. Untuk nafkah sehari-hari ia bercocok tanam dan memelihara pohon buah-buahan. Selain dari itu di malam hari ia menenun kain dan menjahit pakaian anak-anak. Sebelum bekerja ia harus memintal benang dari kapas. Kemudian benang itu diberi warna kuning, biru, merah dan warna lain yang indah. Karena bagus tenunan dan sulamannya banyak penduduk kota datang menyuruh menjahit dan menyulam pakaian anak-anak. la pandai pula membuat gaya baru yang sangat disukai anak-anak. Kadang-kadang lebih banyak jahitan dari pada yang dapat dikerjakannya. Bekerjalah ibu Mariana di malam hari untuk menyelesaikan mana yang belum dapat dikerjakan siang hari. Pada suatu malam ketika ia asyik bekerja, terdengar olehnya suara mendesir-desir, seakan-akan ada orang berdiri di depan pintu. Dibukanya pintu itu dan enam wanita masuk ke dalam rumah. Diperhatikannya tamu-tamu itu. Tampak olehnya mereka membawa seorang anak yang pingsan. Anak itu didukung mereka ke bilik, lalu dibaringkannya di atas balai-balai. Penjahit itu melompat ketakutan dari tempat bekerjanya. Ia bertanya: "Sudah matikah anak itu?" "Belum," jawab salah seorang dari tamu itu, "dia pingsan." Ibu Mariana segera pergi mengambil obat. Didekatkannya botol yang berisi minyak wangi ke hidung anak itu. Setelah anak itu sadar, Ibu Mariana mendudukkannya dan menanyainya. Sepatah katapun tak keluar dari mulut anak itu. Tidak berapa lama anak itu agak mulai bernapas. Ibu Mariana berkata: "Hai anakku, tidurlah sebentar; tentu engkau segera kuat kembali." Ditinggalkannya anak yang sakit itu. Pemimpin rombongan itu berkata kepada Ibu Mariana: "Hai ibu, dengarkan sebentar. Jika ada orang mengantarkan jahitan kamilah yang menjahit pakaian itu untuk langganan ibu. Kapas yang dibawa untuk dipintal, akan kami pintal untuk ibu. Tentu pekerjaan ibu menjadi ringan. Bagaimana pendapat ibu?" Ibu Mariana diam saja. Kepala rombongan itu berseru kepada kawan-kawannya: "Bekerjalah!" Wanita-wanita itu membersihkan tempat bekerja, memintal benang, menyulam dan lain-lain. Ada yang menggunting kain, ada yang menjahit baju anak-anak. Jadilah pakaian anak-anak yang indah-indah. Kemudian disusun mereka pakaian dan selendang serta kain sarung yang telah siap dengan rapinya. Seluruh pekerjaan itu diperhatikan oleh ibu Mariana dengan seksama Mereka bekerja cepat, teratur dan rapi. Kapas dan. kain yang bertimbun-timbun kini berangsur-angsur habis. Ada pula pakaian baru yang bagus-bagus bergantungan di dinding. Ia berbesar hati, karena hasil pekerjaan wanita cantik itu jauh lebih baik dan bagus dari pada pekerjaannya sendiri. Akan tetapi kegembiraannya itu bercampur keheranan. Sebab cara mereka memintal benang, menggunting dan menjahit tampak gampang benar. Seakan-akan kain itu kain yang paling lunak dan paling bagus mutunya. Lancar benar mereka bekerja. Lipatannya tidak terlalu tebal, tidak terlalu tipis, tidak pula kasar dan seluruhnya rata dan sama licin. Setelah berapa lamanya melihat mereka bekerja, ia meresa letih dan akhirnya tertidur. Sudah tinggi matahari baru ia terbangun. Teringat ia apa yang terjadi di malam hari tadi, lalu melihat sekelilingnya. Selain dirinya sendiri tak seorangpun ada di rumah itu. Wanita-wanita semalam sudah pergi. la menoleh ke tempat tidur, anak gadis itu tidak ada. Tumpukan kain kemarin tak ada lagi, hanyalah kelihatan tumpukan pakaian yang sudah dijahit bagus dan rapi. Yakin ia bahwa keenam orang bidadari itu yang mengerjakannya. Tentu mereka segera berangkat membawa anak yang sakit itu. la berfikir penuh keheranan, karena belum pernah melihat wanita-wanita secantik itu. Yang paling cantik adalah gadis yang sakit yang tidur di ranjang itu. Siapakah gerangan gadis jelita itu? Mengapa ia jatuh pingsan? Mengapa ia tidak berbicara sepatah juapun? Besar kemungkinan tak ada sangkut pautnya dengan kumpulan bidadari itu. la memeras otak memikirkan peristiwa yang aneh itu. Tak dapat ia menduga bagaimanakah sesungguhnya persoalan itu. Setelah beberapa waktu berlalu, sudah terkumpul pula banyak kain yang harus dijahit. Ibu Mariana sangat khawatir kalau-kalau pekerjaan itu tidak selesai pada waktunya. Sebab itu pagi-pagi benar ia telah mulai memintal benang dan menjahit pakaian. Di waktu senja ketika hari mulai gelap dinyalakannya beberapa buah lilin. la bersiap-siap hendak bekerja semalam suntuk. Tiba-tiba terdengar olehnya pintu dibuka orang. Beberapa orang wanita masuk ke dalam, lalu mendekatinya. Sudah itu duduklah mereka sambil berkata: "Hai tukang jahit, agaknya engkau sedang bersusah hati. Barangkali karena banyak tumpukan kain yang harus dijahit. Kami semuanya akan menolongmu! Ayo, kawan-kawan mulailah bekerja!" Selesai mengucapkan kata-kata itu, ke enam wanita itu segera bekerja dengan cekatan. Wanita itu tahu sudah siapa mereka itu. la berbesar hati, karena sebentar lagi pekerjaan itu tentu selesai. Bidadari-bidadari bekerja sampai semua pakaian terjahit, terlipat dan tersusun. "Saya sangat berterima kasih kepada Saudara-saudara yang baik budi!" kata ibu Mariana. Kepala rombongan bidadari itu menjawab: "Alangkah baiknya, jika nanti ibu dapat membuktikan terima kasih itu. Dahulu di waktu malam Ibu telah berjasa sekali kepada kami. Kami tidak dapat melupakan apa yang telah Ibu perbuat untuk kami. Bagi kami gampang sekali menolong Ibu. Siapa tahu, barangkali pada suatu ketika kami memerlukan lagi pertolongan Ibu." Mereka berdiri semua, lalu ke luar menghilang dalam gelap gulita. Pekerjaan menjahit pakaian dan bertenun kain sarung rapi benar hasilnya. Termasyhur nama ibu Mariana di seluruh daerah itu. Tak putus-putusnya ia menerima permintaan menjahit pakaian, menyulam dan bertenun. Bahan yang diserahkan kepadanya makin besar tumpukannya. Anehnya pula, apabila pekerjaan bertumpuk-tumpuk, maka datang ke enam bidadari tadi menolongnya. Di dekat gunung Padang di sebuah desa diam seorang kaya. la mempunyai seorang anak perempuan, berumur dua belas tahun. Bukan kepalang cantik dan manisnya anak itu. Tiap-tiap orang yang melihatnya sukar mengalihkan perhatian dan pandangan dari padanya. Adat istiadat kampung itu, bahwa tiap-tiap orang yang memuja kecantikan seseorang harus mengucapkan: "Alangkah buruknya anak itu!" Dengan demikian akan terhindarlah ia dari bahaya, dilarikan syaitan atau jin. Anak perempuan itu tak tahu maksudnya. Jika ada orang mengucapkan kata-kata itu, maka ia menjadi marah. Ini tak mengherankan, karena ia seorang gadis cantik dikatakan jelek atau buruk. Pada suatu hari seorang kakek memujinya pula dan berkata: "Bukan main manisnya engkau, Upik!" Apakah yang terjadi? Hari itu juga terbang seorang bidadari dari gunung mendekatinya. Malam hari anak itu jatuh sakit, sakit keras tak sadarkan diri. Ibu dan ayahnya bersusah payah mencarikan obat, tetapi anak itu tak kunjung sembuh. Beberapa hari kemudian si sakit itu dibawa terbang oleh bidadari ke gunung Padang. Penggantinya, terbaring di tempat tidur seorang anak gadis lain yang menyerupainya. Anak ini meninggal dunia, lalu dikuburkan beramai-ramai. Setiap orang berduka cita. Kesedihan ibu bapanya tak dapat kita bayangkan. Ayah dan ibu itu yakin betul, bahwa anak merekalah yang meninggal dunia. Hanya seorang yang ahli dalam ilmu gaib, mengetahui keadaan sebenarnya. Puteri orang kaya itu diterbangkan enam bidadari ke rumah tukang jahit, dan dibaringkan di atas balai-balai. "Hai, Ibu, kini kami membutuhkan pertolonganmu!" kata kepala rombongan. Penghuni rumah segera melompat dan mengambil anak itu dipangkuannya. Dikenalnya gadis manis di desa itu. Tidak diperlihatkannya bahwa ia kenal anak itu. Diangkatnya dan ditidurkannya anak itu. Untung benar ia menyimpan obat tidur di biliknya. Tanpa setahu tamu-tamu itu diteteskannya obat tidur ke dalam mulut anak gadis itu. Sesudah tertidur dua belas jam barulah ia terbangun; Keenam wanita itu sedang asyik menjahit pakaian yang sudah digunting. Ibu Mariana berbuat seakan-akan sibuk menyadarkan anak gadis itu. Malam bertambah larut dan ketika hari mulai pagi, anak perempuan itu belum siuman. Wanita-wanita itu mulai berbisik-bisik. Berkata ketua rombongan: "Hai, Ibu, kami harus pergi. Nanti malam kami akan kembali dan tentu ia telah sadar. Jaga baik-baik dan kami akan memberimu hadiah yang luar biasa." "Akan saya lakukan perintah Saudara," jawab ibu Mariana. Wanita-wanita itu segera menghilang. Pagi-pagi setelah cuaca mulai terang, dan matahari mulai bersinar ibu Mariana masuk ke kamar tidur anak gadis semalam. Diciumkannya botol berisi minyak wangi ke hidung anak gadis itu dan anak itupun sadarlah. la bangun lalu berdiri. Dikenalnya ibu Mariana. Diceritakannya, bahwa wanita-wanita cantik itu memberinya obat bius. la tak sadarkan diri dan tiba-tiba ia telah berada di tempat tidur ini. Setelah diberinya makan dan minum serta merasa badannya cukup kuat, ibu Mariana memakaikan anak itu pakaiannya sendiri. Diberinya anak gadis itu topi dan mantel yang dalam. Tak seorangpun dapat mengenal anak itu. Bergegas mereka berjalan menuju rumah orang tuanya. Ibu Mariana menceritakan kepada ayah dan ibu anak perempuan itu apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Mereka sangat bergembira dan sangat berterima kasih kepada penolong anaknya itu. Ketika ibu Mariana pulang, ia berpikir-pikir, apakah yang harus dikatakannya kepada ke enam bidadari itu bila mereka datang mengunjunginya. Baik kukatakan bahwa anak gadis itu telah sadar dan pulang ke rumahnya. Setiba di rumah duduklah ia berdiang dekat tungku yang panas, karena hari dingin. Hujan sedang turun dengan lebatnya. Karena amat letih iapun tertidur. Malam itu tidak ada yang terjadi. Begitu pula malam ke dua, malam ke tiga, sampai seminggu, sebulan tidak muncul-muncul bidadari itu. Pada bulan ketiga ibu Mariana yang baik budi duduk menjahit pakaian. Asyik benar ia bekerja dan tak teringat lagi kepada bidadari-bidadari ajaib itu. Banyak pula kain yang harus dijahit. Karena sudah mulai gelap dipasangnya beberapa buah lilin. Tiba-tiba terdengar olehnya palang pintu mulai bergerak dan pintupun terbuka. Ke-pala rombongan yang biasa datang ke tempat itu masuk, diikuti oleh banyak wanita-wanita. Anehnya mereka mengenakan baju kurung dan berselubung sambil menutupi muka mereka. Hanya mata mereka yang kelihatan. Dengan tajam sekali mereka melihat sekeliling rumah. "Hai, kawan-kawan, mari kita tolong wanita yang baik ini!" perintah kepala rombongan itu. Masing-masing melakukan pekerjaan mereka menyelesaikan pakaian yang belum siap. Mereka bekerja dengan cepat, lebih cepat dari yang sudah-sudah. Melihat keadaan yang jauh berlainan dari dahulu, ibu Mariana merasa takut, tapi tidak diperlihatkannya. la yakin perempuan-perempuan itu bermaksud tidak baik terhadap dirinya. la harus waspada. Berkata ketua rombongan dengan kasar kepadanya: "Ibu, hidupkan api besar-besar, dan rebus air! Kami sekarang tidak enam orang melainkan duapuluh lima orang. Ambil periuk besi yang besar dan letakkan di atas tungku itu. Kami lapar dan haus benar." Ibu Mariana hendak menjawab, bahwa tak ada periuk besar. Ketika ia menoleh ke depan tampak kepadanya sebuah periuk baru. Cukup untuk memasak seekor kambing. la heran, mengapa dengan mudah ia dapat mengangkat periuk itu ke atas tungku. Terdengar pula perintah kepadanya! "Tuangkan air sumur ke dalamnya!" Dalam pada itu mereka berbisik-bisik dan tertawa-tawa. Ibu Mariana berbuat pura-pura tidak melihat dan tidak mengerti akan hal itu. Dengan sebuah ember kecil yang ada ia menimba air dari sumur. Dituangkannya air ke dalam periuk besar itu. Sudah sepuluh ember belum juga penuh. Melihat itu kepala rombongan membelalakkan mata serta berseru: "Ayo, cepat sedikit. Makanan dan minuman harus lekas masak dan lekas tersedia. Kalau tidak ibu akan kami rebus!" Segera ibu Mariana pergi ke belakang. Sampai di pintu ia berhenti, lalu ditanggalkannya sendalnya, Perlahan-lahan dengan berjingkat-jingkat, ia kembali ke bilik ruang kerja. Dekat pintu didengarnya baik-baik percakapan mereka, sambil mengintip di celah-celah pintu. Terdengar olehnya seorang dari mereka berkata: "Telah hampir penuh periuk itu. Kita masukkan ia ke dalam. Dia telah mendurhakai kita, tidak mau menolong." Ketika ibu Mariana mendengar bahaya yang akan menimpanya, merangkak ia kembali ke tempat sendal dan ember tadi. Dipakainya sendal itu, pergi ke belakang rumah, lalu memekik sekuat-kuatnya: "Tolong, tolong, ada hantu di rumah saya! Ayo, orang kampung, tolong, tolong ... tolong!" Bidadari-bidadari di dalam rumah mendengar dengan terkejut teriakan-teriakan itu. Ditinggalkannya pekerjaan mereka, lalu berlari-lari ke pintu. Mereka terus melayang keluar menuju ke Bukit Manis secepat-cepatnya dan menghilang. Bagaimana ibu Mariana? la meniarap di tanah karena ketakutan. Orang-orang kampung tidak berani ke luar ketika mendengar pekik yang mengerikan itu. Ketika keadaan sudah sunyi senyap, masuklah ia ke dalam rumah. Ditutup dan dikuncinya pintu erat-erat. Ia duduk di atas tempat tidur, lalu berlutut dan mendoa: "Ya Tuhanku, Yang Maha Kuasa, berilah kekuatan aku menahan pintu itu, jangan sampai dapat dibuka oleh orang -orang jahat." Diambilnya kapak yang tajam, dipukulkannya ke tiang pintu. Baru saja ia selesai berjaga-jaga di dalam rumah, terdengar olehnya bidadari-bidadari tadi berada kembali di muka pintu. Seorang dari mereka mencungkil palang pintu, tetapi tidak berhasil, pintu itu terpaku erat. "Hai, ibu, bukakan pintu," teriak salah seorang dari luar. "Tidak!" jawab ibu Mariana, "nanti kaumasukkan aku ke dalam periuk yang ada di tungku." "Hai, anak kunci, buka, bukakan piatu!" terdengar pula dari luar. "Tidak dapat, tidak bisa!" jawab anak kunci, "saya tidak sanggup!" Bidadari-bidadari itu minta tolong membukakan pintu kepada semua barang yang ada di dalam rumah itu. Baik kapak, kursi, bangku, kumparan benang, kain-kain baju, maupun barang-barang lain, masing-masing menjawab: "Saya tidak bisa bergerak dan tidak kuasa!" Karena bidadari-bidadari tak dapat masuk, timbullah keberanian ibu Mariana. Dengan lantang ia berseru: "Hai! Wanita-wanita jahat, kalau kalian tidak enyah dari sini, saya mohonkan kepada Illahi, agar kalian segera dijadikan batu. Guna membalas kebaikan Saudara kepada saya selama ini, maka saya persilakan Saudara-saudara berangkat dengan baik dan selekas-lekasnya. Janganlah datang lagi mengganggu kampung yang baik dan aman ini!" Ancaman itu berhasil, bidadari-bidadari itu mengakui kesalahan dan kekalahannya. Diam-diam berangkatlah mereka meninggalkan rumah itu. Semenjak itu tidak pernah lagi terdengar dan terlihat wanita-wanita cantik di puncak bukit Gunung Padang itu. Hanyalah sekarang masih ada pancuran air manis, yang mana airnya berasa seperti air biasa saja, tetapi namanya tetap "Air Manis". ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 3. TERTOLONG OLEH KEAHLIAN Dahulu kala bertahta seorang raja di sebuah negeri yang amat jauh letaknya. Baginda dicintai benar oleh rakyatnya oleh karena pemerintahannya keras, tetapi adil. Baginda tidak membeda-bedakan yang miskin dengan yang kaya, semuanya harus taat pada peraturan-peraturan negara. Putera raja itu hanya seorang, bernama Harun. Pada suatu hari ketika pangeran Harun telah berumur duabelas tahun, ayahnya memanggilnya lalu bertitah: "Ananda sekarang telah besar. Bagi ananda telah ayahanda cari guru-guru yang cakap untuk mengajar ananda, sehingga jika telah tiba saatnya ayahanda mangkat anandalah yang menggantikan dan memerintah negeri ini sebagai seorang raja yang pandai dan pemurah hati. Akan tetapi belajar saja belum cukup. Ananda harus juga mempunyai suatu keahlian sebagai seorang penduduk biasa di negeri ini. Keahlian itu berfaedah benar bagi ananda pada kemudian hari." Pangeran Harun tercengang mendengar ayahnya bertitah demikian. "Ananda mengerti, bahwa ananda harus banyak belajar," sembahnya. "Akan tetapi, apa sebabnya ananda harus memahami sesuatu keahlian seperti seorang biasa? Bukankah ananda putera mahkota dan karena itu tidak usah bekerja?" Ayahnya menjawab: "Marilah ke dekat ayahanda. Nanti ayahanda ceritakan kepada ananda sebuah cerita yang sungguh-sungguh telah terjadi. Barangkali ananda akan lebih mengerti jika telah ananda dengar." Pangeran Harun duduk di atas sebuah bangku rendah dekat ayahnya dan ayahnya mulai bercerita. "Pada suatu hari, ketika ayahanda masih muda seperti ananda sekarang ini, ayahanda bersenang-senang seorang diri di pekarangan istana. Ketika ayahanda sampai di depan pintu gerbang, kebetulan ayahanda lihat pintu itu tidak tertutup. Penjaga pintupun tidak ada. Ayahanda sekali-kali tidak diizinkan ke luar seorang diri dari pekarangan istana itu. Selalu ayahanda diiringkan guru ayahanda. Waktu itu ke-sempatan yang baik bagi ayahanda untuk meloloskan diri. Setelah ayahanda tahu benar, bahwa tidak seorangpun yang akan melihat, dengan hati-hati ayahanda ke luar dari pekarangan istana itu. Tiada berapa lamanya sampailah ayahanda pada pinggir sebuah hutan yang besar. Di sana kelihatan sebuah pondok dan ayahanda masuk ke dalamnya. Pada waktu itu tidak ada seorangpun di dalam pondok itu, akan tetapi pada dinding tergantung pakaian seorang anak gembala. Pakaian itu ayahanda kenakan dan pakaian ayahanda sendiri disimpan di bawah balai-balai. "Nah," pikir ayahanda, "sekarang tidak seorangpun yang dapat mengenal ayahanda." Sesudah kira-kira sejam ayahanda berjalan-jalan di dalam hutan itu, ayahanda bermaksud kembali ke pondok tadi dan pulang ke istana dengan tidak setahu seorangpun. Alangkah terkejutnya ayahanda ketika hendak pulang, sebab jalan ke pondok tadi tidak berjumpa lagi. Ayahanda telah sesat. Sehari-harian itu ayahanda di dalam hutan mencari jalan ke pondok, akan tetapi sia-sia belaka. Ayahanda letih benar, lagi pula haus serta lapar. Pada senja hari, hutan itu makin lama makin bertambah gelap dan ayahanda mulai takut. Sekonyong-konyong ayahanda tiba pada sebuah tanah lapang dan tampak seorang orang tua berjanggut panjang sedang duduk di muka sebuah gua. Ayahanda amat bersuka cita waktu melihat orang tua itu, lalu berlari-lari menghampirinya. Ayahanda memperkenalkan diri kepadanya dan menceritakan apa yang telah terjadi sesudah ayahanda meninggalkan pekarangan istana itu. Ayahanda menangis dan berkata: "Oh, nenenda yang budiman, tolonglah bawa cucunda kembali ke istana. Cucunda amat takut dalam hutan yang besar ini." Pertapa itu tersenyum lalu berkata: "Duduklah di sini dulu cucunda untuk melepaskan lelah. la masuk ke dalam guanya dan kemudian ke luar membawa sepiring nasi dan sekendi air. Belum pernah ayahanda makan dan minum seenak itu. Sesudah makan berangkatlah kami menuju istana dan setengah jam kemudian tibalah kami ke pondok di pinggir hutan itu. Sesudah pakaian gembala tadi ayahanda tukar dengan pakaian ayahanda sendiri, pertapa itu minta diri untuk pulang ke guanya kembali. Ayahanda ucapkan terima kasih banyak kepadanya serta berkata: "Cucunda nanti akan membalas kebaikan nenenda itu." Akan tetapi pertapa itu tidak mau mengetahui tentang pembalasan apapun juga. la menjawab: "Kekayaan sekarang ini telah cukup bagi nenenda. Kekayaan saja tidak mendatangkan bahagia. Kebahagiaan hanya tercapai, jika kita bekerja. Oleh sebab itu cucunda harus berjanji akan belajar sehingga mendapat keahlian. Keahlian itu akan berfaedah benar kemudian hari." Sesudah berkata demikian pulanglah ia dan ayahandapun menuju ke istana. Tidak lama kemudian tibalah ayahanda di istana. Seluruh istana gelisah, karena sehari lamanya mereka mencari ayahanda dengan sia-sia. Ayah ayahanda marah benar, tetapi girang juga, karena ayahanda telah pulang dengan selamat. Ayahanda ceritakan apa yang telah terjadi dan nasihat yang telah diberikan pertapa itu kepada ayahanda. "Nasihat itu harus engkau laksanakan," kata ayah ayahanda, "pertapa adalah orang budiman yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi pada hari kemudian. Ayahanda tahu hal itu ada maksudnya." Kemudian terjadi sungguh-sungguh apa yang diramalkan pertapa itu." "Ayahanda pilih pekerjaan menganyam bakul. Mula-mula ayahanda pelajari membuat bakul-bakul yang kasar. Tidak sukar benar pekerjaan itu dan beberapa hari kemudian dapatlah ayahanda menganyamnya sendiri. Ketika ayah ayahanda melihat pekerjaan itu, maka dipanggilnya penganyam yang terpandai di negeri itu ke istana. Dari padanyalah ayahanda pelajari menganyam barang-barang halus. Sesudah tiga tahun belajar ayahanda memperoleh kepandaian itu. Bakul-bakul yang bagus serta berwarna yang indah-indah dan berbentuk yang sukar-sukar dapat ayahanda buat. Akan tetapi yang terbagus ialah tempat buah-buahan yang hanya dipakai jika tamu-tamu Agung datang ke istana. Pada suatu hari, waktu itu ayahanda baru berumur delapan belas tahun. Ayahanda berburu ke hutan bersama-sama dengan beberapa kawan. Ayahanda menembak seekor rusa dan memburunya, hingga masuk jauh ke dalam hutan. Karena itu hubungan ayahanda dengan kawan-kawan ayahanda terputus. Tiba-tiba keluarlah dari semak-semak dua orang penyamun. Mereka menangkap ayahanda dan tangan ayahanda diikatnya pada punggung ayahanda. Mulut ayahanda disumbatnya, sehingga tidak dapat berteriak. Ayahanda diperintahkan menunggang kuda ber-sama-sama dengan seorang penyamun dan kami masuk ke dalam hutan. Sejam kemudian tibalah kami pada suatu pegunungan dan berhenti di depan sebuah gua yang dipakai oleh penyamun-penyamun itu sebagai tempat tinggal. Mereka seret ayahanda ke dalam gua itu. Barang ayahanda diambilnya semuanya. Sesudah barang-barang itu dibagi-baginya penyamun yang pertama berkata: "Anak muda ini lebih baik kita bunuh saja. la tidak lagi berguna bagi kita." Ketika ayahanda mendengar hal itu ayahanda amat takut, akan tetapi ketakutan itu tidak ayahanda perlihatkan kepada mereka. "Tahukah kamu siapa sebenarnya saya ini," kata ayahanda. "Saya ialah penganyam yang terpandai di negeri ini. Saya dapat menganyam bakul yang sangat bagusnya, sehingga orang kaya-kaya akan membelinya. Yang saya perlukan hanyalah bambu dan cat. Penyamun yang kedua berkata: "Baiklah kita coba dia. Dengan cara ini lebih mudah kita dapat uang." Ditungganginya kuda dan beberapa jam kemudian ia kembali dengan membawa alat-alat yang dipergunakannya itu. Dua hari kemudian bakul itu telah selesai. Bagus sekali bakul itu. Bakul yang ayahanda anyam ini serupa benar dengan tempat buah-buahan di istana. Pinggirnya ayahanda beri bertanda rahasia yang hanya dapat diketahui oleh ayah ayahanda dan penasihat-penasihatnya. Dengan hati yang penuh keinginan akan banyak mendapat uang pergilah penyamun pertama menunggang kudanya ke istana untuk menjual bakul itu kepada ayah ayahanda. Tiba di istana, dikatakannya maksudnya kepada penjaga pintu gerbang serta memperlihatkan bakul itu kepadanya. Penjaga itu segera mengenal pekerjaan ayahanda, akan tetapi tidak dikatakannya kepada penyamun itu. Penyamun itu dibolehkan masuk ke istana dan harus menghadap ayah ayahanda. Bakul itu diperiksanya baik-baik dan ketika ia membaca tanda-tanda rahasia ayahanda itu, maka diperintahkannya kepada pengawal-pengawalnya menangkap penyamun itu. Dengan tanda-tanda rahasia itu ayahanda kabarkan kepada ayah ayahanda, bahwa ayahanda ditangkap oleh penyamun. Terpaksa penyamun itu harus menceritakan kemana ayahanda dibawa. Dengan diiringkan oleh serdadu-serdadu ia kembali ke gua di hutan itu. Ayahanda segera dilepaskan dan kedua orang penyamun itu diikat dan dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian mereka itu dihukum mati." "Inilah sebabnya ayahanda menyuruh ananda mempelajari sesuatu pekerjaan tangan. Janganlah ananda malu mempelajarinya. Barangkali kecakapan yang ananda peroleh itu akan berguna sekali bagi ananda kemudian hari," ujar raja itu. "Akan ananda lakukan apa yang ayahanda katakan itu," sembah Pangeran Harun. Hal yang diceritakan ayahnya itu sangat menarik perhatiannya. "Sekarang barulah ananda mengerti., bahwa ananda harus mempelajari sesuatu pekerjaan tangan. Ananda ingin menjadi penenun. Dan ananda akan berusaha belajar menenun kain yang sama bagusnya dengan tempat buah-buahan ayahanda itu." ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 4. SAHABAT KARIB Pada suatu hari, ketika Pedang dan ibunya duduk-duduk di serambi muka, berkata Pedang dengan lemah lembut : "Ibu, berilah aku sesuatu peninggalan ayah. Aku sudah dewasa, aku hendak pergi merantau mencari ilmu'pengetahuan dan ilmu kesaktian guna mempertahankan diri." Mendengar ucapan Pedang itu, ibunya menangis tersedu-sedu. "Ibu tak usah bersusah hati. Dengan do'a restu ibu, akan berhasil usaha Pedang dan Pedang akan lekas kembali. Nanti ibu akan gembira melihat anak ibu telah menjadi seorang pahlawan yang tangkas dan perkasa." Ibunya membenarkan juga kata-kata anaknya itu. "Ya, Pedang, harta pusaka ayahmu telah habis kujual untuk ongkos hidup kita dan memeliharamu. Pedang yang tergantung di dinding itu sajalah yang tinggal lagi. Pedang itu agak pendek dan bengkok, adalah pedang sakti dari ayahmu. Ambillah dan jagalah pedang itu baik-baik. Dengan pedang di pinggang, tidak takebur dan percaya kepada Tuhan, kau akan terhindar dari bermacam-macam bahaya." Segera Pedang berdiri, lalu mengambil pedang bengkok itu dari dinding. Telah penuh debunya. Dibersihkannya dan ditariknya senjata itu dari sarungnya. Sudah berkarat benar matanya. Diambil Pedang batu asahan, diasahnya sampai tajam dan berkilat-kilat pusaka ayahnya itu. "Ibu, bukan main wanginya pedang ini," seru Pedang. "Mulai hari ini ibu namai aku "Pedangwangi" Esok pagi-pagi Pedang hendak berangkat mengadu untung di negeri orang." Pagi-pagi betul Pedangwangi telah berdiri dengan pedang di balik kain sarung yang dibelitkan pada pinggang. la berdestar, berbaju teluk belanga. Tampan betul kelihatannya. Dipeluk dan diciumnya ibunya, lalu menyembah: "Ibu do'akan si Pedangwangi ini. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan dan halangan bagi anak ibu untuk menjadi orang ternama dan jujur. Kehendak Tuhan dan do'a restu ibu akan melimpahkan rahmat terhadap anak ibu ini." "Yang penting Pedangwangi, hendaklah anakku jujur dan jangan sombong. Dengan hormat dan sopan santun terhadap siapapun, akan tercapailah niat anakku," jawab ibu. Banyak nasehat dan petunjuk yang diberikan ibu kepada Pedangwangi. Berangkatlah Pedangwangi dengan langkah yang tegap serta melambaikan tangan dan senyum manis kepada ibunya. Dengan muka sedih ibunya memandang anak tunggalnya itu menghilang masuk hutan. Pedangwangi berjalan ke utara dengan bersiul-siul kecil. Sesudah sejam berjalan, bertemu ia dengan seorang yang sebaya dengan dia. Ia bertanya: "Hai, hendak ke mana Saudara?" "Saya hendak mengembara mengadu untung. Namaku Bintangsari. Mudah-mudahan bintangku ini bersinar cemerlang dan dapat aku hidup berbahagia," jawab pemuda itu. Diperlihatkannya sebuah bintang bersinar-sinar bermata lima, sangat tajam. "Kalau demikian sama maksud kita," jawab Pedangwangi. "Marilah kita ikat persahabatan dan menjadi saudara sehidup semati." Berpeluk-pelukanlah mereka. Tidak berapa lamanya mereka berjalan bertemulah mereka dengan seorang pemuda lain. "Hai, hendak kemana Saudara-saudara ini"? seru pemuda itu. "Bolehkah aku ikut bersama-sama?" "Baiklah," jawab Pedangwangi, dan Bintangsari. "Tetapi mengapa engkau selekas itu mau mengambil kami sebagai Saudaramu?" tanya Bintangsari. "Karena kita bertiga sebaya dan sama kuat dan cakap. Saya hendak merantau, hendak mencari pengalaman. Kalau kita bertiga bersatu, tentulah lebih cepat dan mudah kita mencapai kehendak kita. Bersatu kita kokoh, bercerai kita roboh. 0, ya, saya perkenalkan diri saya dahulu. Nama saya: Duyungtunggal. -Aku pandai berenang dan menyelam seperti ikan duyung." Diceritakan Duyungtunggal bahwa senjatanya hanya sebuah busur dengan sebuah anak panahnya. Anak panah itu sangat sakti. Apabila dilepaskan dari busurnya, ia dapat membunuh berpuluh-puluh musuh. Kemudian ia kembali sendiri ke dalam tabungnya. Dengan bersenda gurau mereka bertiga meneruskan perjalanan mereka. Tidak berapa lamanya sampailah mereka di sebuah kota besar. Di tengah kota itu ada sebuah istana yang indah. Di sekeliling istana itu, orang sedang mengadakan perlombaan melompati parit yang lebar dan berair. Hadiahnya seorang puteri raja yang cantik dari negeri itu. Siapa yang sampai ke seberang akan menjadi menantu raja. Tetapi, barang siapa yang jatuh ke dalam air, akan dipenggal lehernya. Amat muluk hadiah ini, akan tetapi luar biasa kejam syarat-syaratnya. Banyak anak-anak raja yang telah hilang nyawanya karena jatuh ke dalam parit itu. Sungguhpun demikian masih banyak anak-anak bangsawan dan pemuda-pemuda yang merindukan tuan puteri. Pedangwangi, Bintangsari dan Duyungtunggal telah sampai pula di tempat perlombaan itu. Mereka ber-pandang-pandangan dan berdiam diri. Sudah itu mereka tertawa terbahak-bahak. "Bintangku berkilau-kilauan. Kita beruntung dan aku akan menjadi suami tuan puteri!" teriaknya riang. "Kita bertiga akan dapat melompati parit itu." kata Bintangsari. Mereka dekati parit itu dan gelak senyum membayang di muka mereka. Memang tak seorangpun yang bisa melompati parit itu. Tahulah mereka, bahwa yang dimaksud tidak lain dari melompatinya sampai ke seberang. Bintangsari berkata: “Marilah kita mencoba melompati parit yang lebar ini. Rasanya, sekali lompat sampai kita ke seberang” Segera mereka mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam perlombaan itu. Bintangsari berkata: "Andaikata kita tidak berhasil, marilah kita bersama-sama menemui ajal kita. Saya ingin beristerikan tuan puteri itu." "O, ada akal!" jawab Duyungtunggal. "Bukankah kita pandai melompat dengan galah. Raja menghendaki ke seberang saja." "Benar juga pendapatmu itu," kata Pedangwangi. Tidak berapa lama kemudian muncul Pedangwangi Bintangsari dan Duyungtunggal masing-masing dengan sebuah bambu, yang panjangnya kira-kira tiga meter. Di tepi parit sudah penuh penonton, untuk menyaksikan perjuangan hidup mati itu. Kalau jatuh ke air tentu kepala pemuda-pemuda itu akan dipancung. Alangkah tercengang mereka melihat pemuda-pemuda itu masing-masing dengan sebatang galah ditangannya. "Satu, dua ..., tiga ...!" teriak Bintangsari dengan lantang. Ke tiga pemuda itu berlari dengan memegang galah itu merata, mula-mula perlahan-lahan. Kemudian bertambah cepat ... Hap, mereka melayang di ujung galah di atas air, dan ... hap! Sampailah mereka di seberang. Gegap gempita tepuk sorak para penonton. Sri Baginda menyuruh membawa ketiga pemuda itu di dalam kereta kerajaan berkeliling kota, menunjukkan kegembiraan Baginda. Di istana Baginda bersabda: "Hai, anak-anakku, siapakah di antara anak-anakku ini yang suka beristerikan puteriku?" Pedangwangi menjawab: "Ya, Tuanku Syah Alam! Bintangsari lah yang akan menjadi suami tuan puteri, Tuanku!" "Kalau begitu, anak-anakku yang berdua ini akan kuberi jabatan yang tinggi dalam negeri ini!" titah Baginda. "Ya, Tuanku Syah Alam, angkatlah Duyungtunggal menjadi pahlawan negara ini. Patik akan meninggalkan istana, karena belum sampai yang patik cita-citakan semenjak kecil," sembah Pedangwangi. Pada waktu pernikahan Bintangsari dengan puteri Baginda, diadakan keramaian yang luar biasa ramainya. Disajikan bermacam-macam permainan untuk raja-raja dan rakyat di sekeliling negara yang diundang. Berbondong-bondong mereka datang menghadiri pesta yang bukan kepalang meriahnya. Empatpuluh hari empatpuluh malam mereka bersukaria. Ketika Pedangwangi hendak meninggalkan istana, bertangis-tangisan ketiga sahabat karib itu. "Hai, sahabat-sahabatku!" berkata Pedangwangi "aku akan meninggalkan negeri ini. Sungguhpun demikian persahabatan kita tidak akan berkurang, melainkan akan bertambah akrab. Perhatikanlah ini! Aku potong ujung destar ini. Aku pakukan di atas pintu ini. Kalau nanti ada darah menetes dari potongan destar ini, carilah aku, Bintangsari dan Duyungtunggal! Tandanya aku dalam bahaya." Berangkatlah Pedangwangi dengan langkah yang tegap menuju ke utara. Tidak berapa lamanya berjalan, sampailah ia pada sebuah simpang empat. Tak tahu ia, kemana ia harus meneruskan perjalanannya. Untung benar tidak jauh dari situ kelihatan olehnya sebuah menara. Diayunkannya langkah ke tempat itu. Seorang tua bertongkat datang menyongsongnya. "Kakek," berkata Pedangwangi dengan hormatnya. ""Cucu hendak mengembara, tetapi tak tahu ke mana hendak pergi. Ke empat simpang itu bagus semuanya. Dapatkah kakek mengatakan, ke mana arahnya simpang-simpang itu?" "Cucuku yang budiman! Jarang orang datang ke-padaku, bertanya jalan mana yang harus ditempuhnya. Kakek tunjukkan kepada cucuku: Sebuah jalan menuju tepi laut, sebuah ke lembah yang subur, tetapi penuh belukar dan rawa-rawa yang dalam. Sebuah lagi ke puncak sebuah gunung yang banyak jurangnya. Pilihlah, yang mana akan cucu tempuh!" kata kakek, itu. '"Kalau begitu, akan kuarahkan langkahku ke lembah yang subur. Tanah subur memberikan hasil baik," sahut Pedangwangi. "Ah, cucuku, jangan cucu ambil jalan itu. Di situ diam seorang puteri yang dijaga oleh beberapa ekor buaya yang ganas. Telah banyak raja dengan pasukannya menyerang istana itu, tetapi banyak yang mati dibunuh buaya-buaya buas, yaitu penjaga istana itu. Oleh sebab itu janganlah cucu tempuh jalan itu!" nasehat kakek itu. "Ya, kakek aku akan menuju lembah subur itu juga. Aku masih muda dan ingin hendak melihat puteri muda remaja itu. Kakek doakanlah, mudah-mudahan .selamat aku sampai. Berhasillah hendaknya apa yang kucita-citakan selama ini!" jawab Pedangwangi. Dengan melambai-lambaikan tangan ke arah orang tua itu, ditinggalkan Pedangwangi tempat itu. Tidak berapa lamanya berjalan sampailah ia pada sebuah danau. Tepinya penuh dengan rawa-rawa ditumbuhi bermacam-macam tanaman air. Di tengah danau itu menonjol sebuah rumah yang besar dan indah. Terang benderang warnanya kena sinar matahari. Sedang Pedangwangi menikmati alam yang permai itu, tiba-tiba seekor buaya besar meluncur ke darat. Moncongnya besar, penuh dengan gigi tajam, menganga, siap hendak menerkam. Enam ekor anaknya yang hampir sebesar induknya mengikuti dari belakang. Induk buaya itu melontarkan ekornya hendak memancung badan Pedangwangi. Bagaikan kilat Pedang wangi mencabut pedang bengkoknya, siap menahan serangan. Dengan lincahnya ia melompat ke kiri dan ke kanan. Berkat ketangkasannya dapatlah ia membunuh buaya anak beranak, penjaga-penjaga danau itu. Disapunya pedang yang berlumuran darah, lalu naik ke sebuah sampan yang tertambat di tepi rawa. Berkayuhlah ia ke tengah danau, menuju rumah indah. di atas pulau yang rimbun itu. Dari jendela, tuan puteri melihat perjuangan yang hebat antara buaya-buaya pengawal danau itu dengan Pedangwangi. Binatang-binatang buas itu habis mati semuanya. Dekat kaki tuan puteri, di muka pintu, berbaring seekor buaya jantan, lebih besar dari buaya yang terbunuh dalam perkelahian tadi. Buaya itu berkata: "Ya, tuan puteri, cobalah perhatikan pemuda yang datang itu. Dalam pertempuran tentu ia kehausan dan hendak minum." Tuan puteri melihat pemuda itu turun dari sampannya dan mendarat. Pedangwangi duduk berjongkok, menekankan kedua belah telapak tangannya di batu, lalu menghirup air danau, melepaskan dahaga. Diceritakan tuan puteri perbuatan. anak muda itu. "Ah, matilah aku. Sangat sakti pemuda itu. Kalau dia minum dari telapak tangannya, akan habis nyawanya," kata buaya itu. "Eh, apa pula yang dilakukan pemuda itu?" seru tuan puteri. "Ah, sungguh aneh, ia melompat dan memetik dengan mulut buah jambu yang ranum-ranum lalu dimakannya!" "Ya, tuan puteri, telah sampai rupanya ajalku. Itu adalah suatu pertanda bagiku," sahut raja buaya itu, "tak dapat saya membela tuan puteri lagi, karena ia lebih sakti dari padaku." Tidak berapa lama kemudian Pedangwangi sudah berada di ambang pintu. la berdiri dengan tegap, memegang pedang bengkok yang tajam dan berkilau-kilauan. "Ayoh! Nyah engkau dari sini, mengapa engkau datang kemari?" seru buaya itu dengan dengus yang menakutkan. Bagaikan kilat sambil melayangkan ekor ia menyerang menyambar Pedangwangi. Tetapi Pedangwangi siap dan waspada, mengelakkan serangan itu, lalu memutarkan badannya ke kiri. Seperti petir pedang bengkoknya memotong pangkal ekor buaya itu dan ekor itupun jatuh terkulai di lantai. Rahang buaya sudah hendak menjapit badan Pedangwangi, tetapi Pedangwangi telah berada di atas kepala buaya itu. Dengan cekatan rahang atas buaya itu ditariknya kuat-kuat sampai patah berderak-derak. Penjaga istana itu meraung kesakitan, lalu mati tak bergerak lagi. Sesudah Pedangwangi membersihkan hutan pulau itu dari binatang-binatang buas, iapun mendapatkan tuan puteri, yang bernama Magdalena. Diceritakan Magdalena, apa sebabnya ia sampai ke pulau itu. Karena berbuat sesuatu yang tidak senonoh dan melawan orang tua, ia dibuang ke pulau yang terpencil itu, cukup dengan pesuruh dan inang pengasuh. Maka segera dilaksanakan perkawinan mereka, dan hiduplah mereka di rumah indah itu aman tenteram sebagai suami isteri. Bagaimana pula halnya dengan anak-anak raja, yang berdiam tidak berapa jauhnya dari pulau itu? Setelah diketahui bahwa buaya-buaya penjaga pulau itu habis mati semuanya, pergilah mereka menemui kakek yang tinggal dipersimpangan jalan dahulu. Diceritakannya oleh kakek itu, bahwa pemuda itu sangat sakti. Dengan tangkas ia dapat mengalahkan penjaga-penjaga yang ganas, terdiri dari binatang-binatang buas di pulau itu. Senjatanya hanya sebuah pedang bengkok, besar dan tajam. Di dalam senjata itu tersimpan kesaktian anak muda itu. Salah seorang anak-anak raja itu mendapat ilham menyuruh seorang pesuruh istana mencuri pedang itu, Tengah malam dibawa lari oleh pesuruh itu senjata Pedangwangi. Tetapi pesuruh itu kehilangan akal, tak tahu hendak diapakannya senjata itu. Akhirnya dilemparkannya saja pedang sakti itu ke dalam danau. Pedangwangi tidur nyenyak di ranjang yang indah dan semerbak baunya. Di pagi hari ketika hendak bangun tidur, ia merasa lesu dan sakit. la tak dapat berdiri lagi dan jatuh sakit tak bisa bergerak. Pada suatu pagi, .. . jauh dari tempat Pedangwangi berbaring, Bintangsari ke luar dari balairung. Dilihatnya tetesan darah di lantai, di bawah pintu. Dipanggilnya Duyungtunggal, lalu berkata: "Saudaraku, lihatlah, tetesan darah ini jatuh tak henti-hentinya. Ini adalah suatu peringatan kepada kita, bahwa sahabat kita Pedangwangi dalam bahaya. Marilah kita segera berangkat." Dipacunya kuda mereka melalui jalan yang dahulu ditempuh Pedangwangi. Ketika sampai di simpang empat, bertanyalah mereka kepada orang tua penjaga menara, kemana arah Pedangwangi pergi. Berceritalah orang itu apa yang terjadi selama ini. Bintangsari dan Duyungtunggal mengucapkan terima. kasih atas penjelasan itu, lalu memacu kuda mereka. Setelah menyeberangi danau sampailah mereka di tempat peraduan Pedangwangi. Berceritalah Pedangwangi, bahwa pedang bengkoknya dicuri orang. la tidak mungkin sembuh, bila pedang sakti itu tak ada padanya lagi. Bintangsari dan Duyungtunggal segera bertindak. Ditemukan mereka pedang itu berada di dasar danau yang dalam. Dengan mudah Duyungtunggal menyelam mengambil pedang bengkok itu. Ketika pedang sakti telah berada di pinggang Pedangwangi, sembuhlah ia dari penyakitnya. Dengan gembira ia bangun dari tempat tidurnya. Tepat benar saatnya Bintangsari dan Duyungtunggal sampai ke pulau itu. Beberapa hari kemudian datanglah raja-raja keliling danau menyerang Pedangwangi. Beratus-ratus prajurit telah sampai di pulau itu. Apa yang diperbuat oleh ketiga sahabat itu? Ketiga pahlawan itu berdiri dengan tak gentar menghadapi musuh. Pedangwangi berdiri menghadap ke utara dengan pedang bengkoknya. Bintangsari menahan musuh dari barat dengan bintang-bintangnya yang tajam. Duyungtunggal siap menanti musuh dari timur dengan panah wasiatnya. Di belakang mereka berdiri istana ,besar dan kokoh dari pulau itu. Dengan tenang dan sabar mereka menantikan serangan dari tiga jurusan. Datanglah musuh dari tiga pihak menyerbu dengan gegap gempita. Duyungtunggal menarik busur saktinya. Sekali tarik anak panahnya terbang menuju sasaran. la menusuk berpuluh-puluh musuh, yang habis mati kena panah beracun itu. Begitu pula halnya dengan senjata Bintangsari, yang terdiri dari bintang-bintang tajam. Dilemparkan Bintangsari beberapa buah bintang, lalu bintang-bintang sakti ini melayang menyambar perut tentara musuh. Berpuluh-puluh orang mati tertelungkup di tanah tidak berdaya lagi. Sekali ini Pedangwangi tidak menyerang dengan pedang di tangan, melainkan dilemparkannya senjata itu kepada musuh. Pedang bengkok itu melayang menebas sekalian tentara yang berada di hadapannya. Habis bergelimpangan semuanya di tanah, Pedang sakti itu terbang kembali ke sarungnya mengabdikan diri kepada tuannya. Melihat korban tentara yang luar biasa itu, maka anak-anak raja bersama pahlawan mereka yang masih hidup mundur dan pulang ke negeri mereka. Pada suatu hari berkata Pedangwangi kepada kedua sahabat: "Bintangsari dan Duyungtunggal, marilah kita tinggalkan pulau dan rumah indah ini. Seakan-akan ada seruan ibuku karena sudah lama aku tak pulang. Aku merindukan sangat ibuku." Tidak seorangpun yang tak setuju. Berangkatlah ketiga sahabat itu bersama Magdalena isteri Pedangwangi. Lebih dahulu mereka singgah ke negeri isteri Bintangsari, sebab Bintangsari hendak membawa pula Ismaiti bersama-sama. Alangkah gembiranya raja menerima keempat orang itu. Ketika Baginda mendengar permohonan Bintangsari hendak membawa isterinya ke tanah airnya, ia terkejut dan bersedih hati. Baginda telah lama bermaksud hendak menobatkan Bintangsari menjadi raja menggantikan Baginda. Dengan demikian Ismaiti, puteri yang sangat disayanginya, dapat hidup tenteram bersama Baginda. Dipanggil Baginda Ismaiti lalu bersabda: "Anakku sayang, Bintangsari hendak membawa anakku ke negerinya dan meninggalkan ayahanda. Ayahanda tak sanggup melepas. ananda pergi, sebab ayahanda sudah tua, tak tahan bercerai dengan ananda. Bagaimana pikiran anakku? Maukah anakku tinggal bersama ayahanda, atau sukakah anakku mengikuti suami?" Puteri Ismaiti termenung sejenak, lalu menjawab: "Ya, ayahku yang kucintai, sebagai seorang isteri, aku harus bersama suamiku ke mana ia pergi." Jawaban yang tak terduga-duga itu menimbulkan amarah Baginda. Dengan muka merah padam Baginda bersabda: "Anakku Bintangsari! Anakku boleh berangkat dengan teman-teman anakku, tetapi Ismaiti harus kau tinggalkan di istana ini." Ketiga pahlawan itu terdiam mendengarkan ucapan Baginda itu. Apa yang dibuat oleh Pedangwangi? Ditegakkannya Ismaiti di antara Bintangsari dan Duyungtunggal yang segera mengepit pinggang Ismaiti. Ismaiti meletakkan ke dua belah tangannya ke atas bahu sahabatnya itu. Berpegang-peganganlah mereka bertiga. Pedangwangi berseru: "Ayo, berangkat kalian bertiga! Lekas, lekas!" Baginda berteriak: "Lekas, tutup pintu! Tangkap, tangkap semuanya! Masukkan ke penjara!" Puteri Ismaiti terjun bersama-sama temannya ke bawah, tidak melalui pintu, melainkan melalui jendela. Tidak lain anggapan Baginda, tentulah mereka bertiga hancur lebur tiba di halaman. Tidak demikian halnya. Mereka lari tertawa-tawa dengan gembira. Bukan main tercengangnya Baginda menyaksikan hal yang ajaib itu. Dalam pada itu Pedangwangi menyambar tangan isterinya Magdalena, lalu lari ke luar. Sekali lagi Baginda berteriak: "Tangkap, tangkap!" Pedangwangi menghunus pedang bengkoknya dan membunuh sekalian penjaga pintu istana itu. Diikuti sahabatnya yang bertiga, yang lari terlebih dahulu. Raja menyuruh bunyikan genderang perang, dan berpuluh-puluh perajurit segera mengejar pahlawan-pahlawan itu. Pedangwangi berhenti lalu berseru: "Hai, perajurit-perajurit kalau engkau masih sayang akan jiwamu, kembalilah kepada rajamu, katakan kamu tak sanggup menangkap kami. Kalau tidak, akan matilah kalian!" "Hai, anak muda yang sombong, akan kami tangkap juga engkau. Kami mesti melaksanakan perintah raja," jawab kepala perajurit-perajurit itu. Dengan tak sabar lagi dicabut Pedangwangi pedangnya, lalu mengamuk ke dalam pasukan itu. Berpuluh-puluh mati terkapar di tanah termasuk dua orang pahlawan yang sakti. Melihat itu habis larilah tentara yang lain pontang-panting, kembali ke negerinya. Beberapa hari berkuda sampailah ketiga pahlawan sakti itu bersama isterinya di rumah, di mana Pedangwangi dilahirkan. Mereka turun dari kuda berpegang-pegangan tangan menuju ibu Pedangwangi, yang sedang berdiri di muka pintu. Duyungtunggal yang suka berolok-olok berkata: "Ibu, kami ini hendak bertemu dengan anak ibu!" Perempuan itu menatap ketiga anak laki-laki itu. Karena ke tiganya sebaya, sama besar dan sama gagah serta tangkas, tak dapat ia membedakannya. la menangis tersedu-sedu, lalu menjawab: "Ya, anakku, anak ibu telah lama benar pergi merantau. Sampai sekarang belum juga ia pulang. Ibu sangat merindukannya!'' "Ibu, perhatikanlah kami sekali lagi," berkata Duyungtunggal, "barangkali ada anak ibu di sini." Tak tertahan lagi hati Pedangwangi merindukan ibunya. la melompat, lalu bersujud: "Ibu, inilah anak ibu, yang ibu nanti-nantikan." Sambil menangis ia memeluk dan mencium ibunya. Kemudian diperkenalkan Pedangwangi ke dua sahabat karibnya itu, Bintangsari dengan isterinya Ismaiti dan Duyungtunggal, serta kawan hidupnya Magdalena. Alangkah besarnya hati ibu Pedangwangi melihat anaknya telah menjadi seorang pahlawan yang gagah dan perkasa. Siang malam mereka menceritakan pengalaman mereka, suka duka, selama dalam perantauan. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 5. KARENA SEEKOR ANAK MERPATI Sekali peristiwa seorang saudagar harus pergi ke negara lain untuk mengurus perdagangannya. Perjalanan itu akan berlangsung beberapa hari lamanya. la akan berlayar dengan menumpang sebuah kapal besar. la bertempat tinggal di kota yang terletak kira-kira enam jam jauhnya dari pelabuhan. Pada suatu hari dipasangnya pelana kuda hendak berangkat. Sesudah mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya, iapun melompat ke atas kudanya. Tak lupa ia berjanji akan membawa oleh-oleh, yaitu barang-barang yang bagus-bagus jika ia kembali nanti. Kira-kira dua jam ia mengendarai kuda itu, sampailah ia pada sebuah hutan lebat. la terpaksa menunggang kudanya perlahan-lahan, karena jalan di hutan itu agak sempit. Tiba-tiba terlihat olehnya seekor anak burung menggelepar-gelepar di atas tanah. la adalah seorang yang baik hati, lagi pula penyayang binatang. la pun turun dari atas kudanya, lalu dipungutnya burung itu. Seekor anak burung merpati kesakitan, kepalanya terkulai. Penuh belas kasihan diusap-usapnya kepala merpati itu. Punggung dan sayap burung itu luka-luka. Pasti seekor burung buas telah menerkamnya. Beruntung juga ia dapat meloloskan diri. "Hendak diapakan binatang yang malang ini?" pikirnya. "Aku tak boleh terlambat tiba di pelabuhan, supaya hari ini juga dapat berangkat. Tetapi jika burung ini kubiarkan saja di sini, pasti ia akan mati." Saudagar penyayang binatang itu tak sampai hati membiarkan merpati itu terlantar di jalan begitu saja. Setelah berpikir sebentar dipacunya kudanya pulang ke rumah. Alangkah terkejut isteri dan anak-anaknya, melihat ia pulang itu. Saudagar itu masuk ke dalam, diceritakannya apa yang terjadi dalam perjalanan ke kota. "Memang bodoh benar engkau," kata isterinya. "Karena binatang yang tak berguna ini, barangkali engkau terlambat sampai di pelabuhan. Tentu engkau akan banyak mendapat kerugian sebab belas kasihanmu ini." "Barangkali apa yang kaukatakan itu benar juga," jawab suaminya dengan senyum. "Tetapi tak sampai hatiku membiarkan burung yang tak berdaya ini mati di tengah-tengah hutan itu." Segera dibuatnya sebuah sarang dalam sangkar kosong yang tergantung di dapur. Kemudian dimasukkannya merpati itu ke dalam sangkar yang telah dilengkapi dengan air dan padi-padian. Disuruhnya anaknya yang besar menjaga burung itu baik-baik dan memberi makan setiap hari. Sesudah selesai semuanya dipacunya kudanya cepat-cepat ke kota. Malang, di pelabuhan didengarnya, bahwa kapal yang akan ditumpanginya telah bertolak sejam yang lalu. Terpaksalah ia menunggu dua minggu lagi untuk dapat berangkat dengan kapal lain. Keesokan harinya telah berada pula ia' di rumah. Isterinya berkata: "Benar juga yang kukatakan, bukan? Saya tahu, bahwa inilah yang akan terjadi. Tak seorangpun akan mengabaikan urusan dirinya hanya untuk menolong burung merpati yang tak berguna itu." Suaminya diam saja mendengarkan omelan itu. Tiap hari saudagar itu mengobati baik-baik luka merpati itu. Seminggu kemudian telah sembuh benar burung itu, lalu dilepaskannya. Tetapi anehnya ... burung itu telah lekat benar pada saudagar itu dan tidak mau meninggalkan rumah itu. Dua minggu telah berlalu, maka sampailah saatnya saudagar itu harus berangkat dengan kapal yang telah ditunggu-tunggunya. Sebelum ia pergi ke pelabuhan, ia singgah dahulu ke rumah kawannya di kota. Sahabatnya ini dua minggu yang lampau telah berangkat lebih dahulu dengan kapal pertama. Tentu ia telah kembali. Tetapi bukan kawannya itu yang datang menemuinya dengan gembira. Dengan menangis tersedu-sedu isteri sahabatnya datang menjumpainya. "Belumkah Saudara mendengar, bahwa kapal yang ditumpangi suami saya karam, karena diserang taufan yang hebat sekali. Semua penumpang dan anak buah kapal mati tenggelam. Beruntung benar saudara tidak ikut bersama suami saya." Mendengar kecelakaan itu, sangat bersedih hati saudagar itu. Terbayang dalam pikirannya: "Karena aku menjumpai burung merpati itu dalam perjalananku maka terhindarlah aku dari bahaya maut. Tuhan Maha Kuasa!" Semenjak itu kasih sayangnya kepada binatang-binatang bertambah-tambah, lebih-lebih kepada merpati yang telah menyelamatkannya dari malapetaka. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 6. ASAL USUL TELAGA WARNA Bila kita bepergian dengan mobil dari Jakarta ke Bandung melalui Puncak, tidak jauh dari tepi jalan besar, terdapat sebuah telaga yang disebut TelagaWarna. Hal-hal yang aneh acap kali terjadi di telaga itu. Ada kalanya air telaga itu berubah warnanya. Kadang-kadang putih berkilau seperti mutiara. Kadang-kadang hijau seperti permata jamrud. Ada pula berwarna biru seperti sapir. Sekali-sekali berubah merah bagaikan mirah delima. Lebih-lebih pula di sekeliling telaga ini tumbuh pohon-pohon kayu yang rimbun, yang mana dahan-dahannya menjorok sampai jauh di atas air telaga itu. Kalau tiba musim bunga, bertaburanlah dahan-dahannya dengan bunga-bungaan yang semerbak dan beraneka warna. Sungguh indah pemandangan di situ. Tepat benar nama yang diberikan kepada telaga itu: "Telaga Warna". Di hari-hari libur banyak pula orang datang bertamasya ke situ. Menurut dongeng, terjadinya warna warni di telaga itu sebagai berikut : Dahulu kala sebelum agama Islam masuk ke pulau Jawa, bertakhta dekat Telaga Warna seorang raja yang amat tamak. Baginda hanya mempunyai seorang anak, seorang puteri yang amat cantik bernama Dewi Kasminten. Kecantikan tuan puteri tiada bandingnya. Semua hamba rakyat serta seisi keraton selalu memujinya. Karena sanjungan yang berlebih-lebihan, puteri Kasminten menjadi seorang yang angkuh dan congkak. Puteri Kasminten suka benar memakai perhiasan dan pakaian yang indah-indah. Maksudnya tentu hanya ingin dikagumi orang saja. Oleh karena amat gemar berdandan itu ia berjanji tidak akan kawin bila calon suaminya tidak menyediakan pakaian-pakaian serta perhiasan-perhiasan yang indah dan yang mahal-mahal. Pada suatu hari datang tiga orang anak raja meminang puteri Kasminten. Ketiga-tiganya sanggup memberikan segala apa yang diingininya. Dipersembahkan mereka kepada raja perhiasan-perhiasan dan pakaian-pakaian yang indah dan mahal. Melihat harta sebanyak itu timbul ketamakan raja. la ingin melihat dahulu, siapa di antara anak-anak raja itu yang dapat memberikan harta sebanyak-banyaknya. Karena itu dirahasiakannya benar pinangan ketiga anak raja tersebut. Tidak seorangpun di antara anak raja itu yang tahu, bahwa ada pula anak raja lain yang datang meminang tuan puteri Kasminten. Mereka diterima raja seorang demi seorang tidak pada waktu yang sama. Masing-masing datang mempersembahkan mas kawin mereka. Yang terindah dan termahal di antara perhiasan-perhiasan yang dipersembahkan itu adalah persembahan dari anak raja yang termuda dan tercakap. Meskipun demikian, baginda belum juga puas. la masih mengharapkan, mudah-mudahan ada lagi anak raja lain yang meminang puterinya dengan membawa mas kawin yang lebih banyak lagi. Dalam pada itu puteri Kasminten tidak tahu sedikit juapun tentang kunjungan ketiga anak raja itu. la tidak tahu akan segala perhiasan yang diterima ayahnya. Pada suatu hari seorang hamba keraton membuka rahasia itu kepada puteri Kasminten. Semua kejadian atas kunjungan ketiga anak raja itu telah diceritakannya. Sangat senang hati puteri Kasminten mendengar berita itu. Segera ia mendapatkan ayahnya menanyakan kebenaran berita itu. "Di manakah ayahanda simpan perhiasan-perhiasan yang dipersembahkan ketiga anak raja itu? Bukankah mereka telah melamar ananda? Ingin ananda melihat sebentar." Sekarang mengertilah. baginda bahwa puteri baginda telah mengetahui rahasia itu. Karena sayang kepada puterinya, dibawa baginda puteri Kasminten ke tempat penyimpanan perhiasan. Melihat perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan itu puteri Kasminten memekik kegirangan: "Alangkah indahnya perhiasan ini!" Segera diraihnya seuntai kalung yang bertatahkan mutu manikam, bermatakan jamrud, sapir, mutiara dan mirah delima. Sekarang timbul hasratnya untuk menghiasi dirinya dengan perhiasan-perhiasan itu. Kasminten memohon kepada ayahnya memakai perhiasan itu. "Ayahanda yang tercinta," merayu puteri Kasminten, "perkenankan ananda memakai perhiasan ini sejenak. Akan tercenganglah dayang-dayang, inang pengasuh ananda apabila mereka melihat ananda memakai perhiasan yang indah ini." Karena sangat kasih, dikabulkan baginda permintaan anaknya itu. Tidak sampai hati baginda menolak permintaan puteri Kasminten. Dengan sehelai selendang sutera Kasminten membungkus perhiasan-perhiasan itu. Lalu dibawanya ke sebuah kawah di puncak sebuah gunung bukit barisan. Di. sanalah ia akan menghias dirinya dengan setenang-tenangnya. Terbayang di pelupuk matanya betapa kelak kagumnya penghuni keraton, melihat ia turun dari puncak gunung, tidak ubahnya seperti seorang bidadari turun dari kayangan. Demikianlah khayal puteri Kasminten. Sementara itu anak raja yang meminang puteri Kasminten mendengar dari hamba raja, bahwa ia ditipu oeh baginda. Timbullah amarahnya dan ia bersumpah akan menuntut balas. la meminta pertolongan kepada dukun-dukun pandai agar puteri Kasminten itu dihukum. Berkat mantera dan doa dukun-dukun itu permohonannya terkabul. Ketika puteri Kasminten membuka selendang, tiba-tiba sekalian perhiasan di dalamnya direbut oleh seorang gaib. Dengan sekejap mata perhiasan itu hilang lenyap dihela ke dalam kawah. Bukan main terkejutnya puteri Kasminten mengalami peristiwa yang tidak terduga-duga itu. la menangis dengan sedihnya, sujud di tanah dan memohon supaya perhiasan itu dikembalikan. Semua sia-sia belaka, tidak sebuah perhiasanpun yang muncul dari kawah itu. Puteri Kasminten tidak berani pulang ke keraton, karena takut dimurkai ayahanda. Duduklah ia siang malam di tepi kawah itu memohonkan belas kasihan dewa dengan tidak henti-hentinya sambil mencucurkan air mata. Akhirnya lubang kawah itu penuh dengan air mata Kasminten, sehingga terjadilah sebuah telaga. Tidak banyak orang mengetahui mengenai nasib puteri Kasminten. Perhiasan yang lenyap itu, sekali-sekali masih terlihat dari dalam air. Kini bila air telaga itu diperhatikan benar-benar, maka kelihatan telaga itu berwarna warni dan berkilau-kilauan. Ada airnya yang putih bersih bagaikan mutiara, kadang-kadang hijau seperti jamrud, adakalanya berwarna biru seperti permata sapir. Sekali-sekali berubah pula kemerah-merahan bagaikan permata mirah, sangat indah warnanya. Itulah sebabnya telaga itu dinamakan orang "TELAGA WARNA" ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 7. PUTERA DAN PUTERI RAJA Dahulu kala adalah seorang raja dengan permaisurinya memerintah sebuah negeri yang jauh letaknya. Puteranya berumur 10 tahun bernama Usmansyah dan puterinya 8 tahun Zuryanum. Mereka hidup dalam keadaan aman serta berbahagia. Tetapi semuanya itu tak kekal. Pada suatu ketika, pecahlah perang antara negara-negara yang berdekatan dan ayah Usmansyah terlibat pula dalam pertempuran-pertempuran yang berlangsung. Musuh memasuki negerinya dan menduduki istana raja. Raja dan permaisurinya beserta penduduk istana yang lain tertangkap dan ditahan semuanya. Kecuali kedua putera raja, Usmansyah dan Zuryanum terlepas dari sergapan itu. Seorang pengasuh dapat melarikan mereka. Dipakaikannya pakaian buruk-buruk kepada putera dan puteri raja itu, lalu dilarikannya kedua anak-anak itu melalui pintu rahasia di belakang kebun istana itu. Tidak ada seorangpun yang memperhatikan anak-anak yang berpakaian compang-camping itu, sehingga mereka selamat meninggalkan istana. Usmansyah dan Zuryanum berjalan tergesa-gesa dan sampailah pada suatu hutan lebat. Sangat letih dan lapar mereka. tetapi mereka berjalan terus di semak belukar dalam rimba raya itu. Selama mereka berjalan terbang seekor burung putih di hadapannya. Dengan tidak diketahui apa sebabnya, diikutinya saja ke mana burung putih itu terbang. Akhirnya sampailah ia pada sebatang pohon pisang yang berbuah kuning-kuning. "Haaaa, itu yang dapat kita makan," kata Usmansyah. Segera dipotongnya pisang itu sesisir. Tiba-tiba burung putih itu terbang mendekati anak raja itu,, lalu berteriak: "Jangan, jangan dimakan pisang itu, nanti engkau menyesal. Tiap-tiap pisang yang kau makan, menghilangkan ingatanmu selama setahun." Usmansyah tak mengindahkan perkataan burung tadi dan karena sangat lapar dimakannya lima buah pisang. Tetapi adiknya tak mau memakan pisang itu. Tidak berapa lama sesudah ia makan, berkatalah anak raja itu: "Hari mulai gelap Zur. Tunggulah kakanda di sini. Kakanda pergi mencari tempat bermalam." "Baiklah," jawab adiknya, "Adinda akan tinggal di sini sampai kakanda kembali." Usmansyah berangkatlah, semalam-malaman Zuryanum menunggu, begitu pula keesokan harinya, tetapi abangnya tak kunjung pulang. la bersedih hati dan jatuh sakit karena kelaparan dan kehausan. "Barangkali sampailah ajalku di sini," pikirnya dan ia terus menantikan kakaknya. Tiba-tiba dilihatnya burung putih yang dahulu terbang di hadapan mereka. Tiga kali ia terbang mengelilingi anak raja itu. Pada saat itu juga terjadilah suatu hal yang sangat aneh. Kaki Zuryanum terperosok ke dalam tanah dan terus menjadi akar. Badannya menjadi batang dan kepalanya menjadi bunga putih yang indah. Puteri itu telah menjadi sebatang pohon kayu yang berbunga-bunga putih permai diseling bunga-bunga berwarna merah. Sekarang dapatlah Zuryanum mengambil makanan dari dalam tanah. Demikianlah anak raja itu telah menjelma menjadi sebuah pohon kuyu indah, yang tumbuh bertahun-tahun lamanya. Setelah Usmansyah meninggalkan adiknya, maka segera ia lupa akan Zuryanum. [a berjalan terus hingga sampai ke tepi hutan dan bertemu dengan seorang petani. Orang itu menaruh belas kasihan melihat Usmansyah yang berbaju koyak-koyak itu. Diajaknya Usmansyah pergi ke rumahnya. Ketika ditanya siapa orang tuanya, anak itu tidak menjawab, melainkan diam saja. Karena Pak Tani serta isterinya tiada beranak, maka dipeliharanya Usmansyah seperti anak kandung. Mereka sangat sayang kepada anak itu, karena dia sangat patuh dan rajin menolong bapak-angkatnya di ladang. Sesudah 5 tahun lamanya berlalu, maka Usmansyah menjadi seorang anak pendiam. Sering ia duduk termenung berjam-jam lamanya, seolah-olah ada yang diingatnya. Pada suatu hari ia berkata kepada ayah angkatnya: "Saya akan ke hutan, ayah. Ada yang akan saya cari, tetapi saya tak tahu barang apa itu." Sebab amat sangat permohonannya itu, terpaksa ia mengabulkannya. Dengan perbekalan yang cukup berangkatlah Usmansyah masuk hutan lebat itu. Ketika ia tiba di tepi hutan, datang pulalah burung putih melayang-layang di depan Usmansyah. Berjam-jam ia berjalan menurutkan burung putih itu. Telah berlalu lima tahun dan ingatannya kembali berangsur-angsur. Sampailah Usmansyah ke tempat ia meninggalkan adiknya dahulu. Barulah ia teringat, bahwa ia akan mencari adiknya yang bernama Zuryanum. Sekarang sadarlah ia akan dirinya sambil melihat sekelilingnya. Di tempat ia meninggalkan adiknya dahulu, tumbuhlah sebatang pohon yang berbunga putih dan merah amat indahnya. Burung putih petunjuk jalan bertengger di tangkai bunga putih itu. Usmansyah berbisik kepada burung putih: "Engkau telah membawa aku kemari, tunjukkan pulalah, di mana adikku Zuryanum sekarang?" "Petiklah bunga putih yang besar itu," jawab burung itu. Baru saja disinggungnya bunga itu, berubahlah ia. Bunga yang putih itu berangsur-angsur menyerupai paras adiknya, Zuryanum. Sesudah itu berdirilah Zuryanum di hadapannya. Dirangkulnya Zuryanum lalu diciumnya. Berlinang-linang air mata mereka. Alangkah besar hati mereka bertemu kembali. Sambil berbimbingan tangan diikuti mereka burung putih yang menunjukkan jalan ke luar hutan dan terus menuju ke istana raja. Sementara itu peperangan telah selesai; musuh telah meninggalkan negeri itu. Raja negara itu menyuruh mencari anaknya yang berdua yang hilang itu, tetapi tak seorang juapun menjumpainya. Di pagi hari sampailah Usmansyah dan Zuryanum di istana dan mereka disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat. Tujuh hari tujuh malam lamanya orang berpesta ria di negeri itu, bersyukur, karena kedua kesayangan raja telah pulang dengan selamat. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 8. KOTA AIR BANGIS Air Bangis adalah sebuah kota kecil yang terletak dekat perbatasan daerah Tapanuli dengan daerah Sumatera Barat. Pada zaman dahulu diceritakan orang dari mulut ke mulut suatu peristiwa yang aneh, yang terjadi di dekat kota itu. Seorang raja pergi bertapa memohon agar dikurniai seorang anak laki-laki. Permohonannya itu terkabul. permaisuri melahirkan seorang putera yang amat cantik parasnya. Karena sukacitanya baginda mengadakan pesta siang malam guna memperlihatkan kepada rakyat rasa syukur baginda. Sesuai dengan kebesaran adat istiadat raja-raja, baginda mengundang ke istana ahli-ahli nujum yang termasyhur dari segala pelosok negeri. Mereka akan meramalkan hal ihwal putera raja yang baru lahir dikemudian hari. Setelah dibahas mereka ramalan-ramalan yang mungkin menimpa putera raja, maka menyembah ahli nujum yang tertua: "Daulat Tuanku Syah Alam, harap hamba yang hina dina ini diampuni. Menurut penglihatan hamba, putera Tuan ku ini kelak akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa. Budi lakunya baik, pemurah lagi penyayang. Tetapi malang sinar bintang kelahirannya menyatakan, bahwa putera tuanku ini akan menemui ajalnya oleh buaya, ular atau anjing." Mendengar sabda ahli nujum itu bukan main cemas hati baginda. Demi keselamatan puteranya segera diperintahkan baginda membangun sebuah istana baru. yang amat indah. Istana itu diperlengkapi dengan segala macam permainan yang digemari anak-anak serta diawasi oleh banyak inang pengasuh yang manis-manis. Penjagaan mahligai diperkuat dengan perajurit-perajurit yang tangkas di bawah pimpinan seorang hulubalang raja yang gagah perkasa. Tidak lupa pula baginda memerintahkan, agar membunuh segala buaya ular dan anjing yang dijumpai di negeri itu. Waktu beredar dengan cepatnya. Tidak berapa lamanya anak raja itupun besarlah. Pada suatu hari anak raja itu duduk-duduk bersama beberapa inang pengasuh di anjung peranginan istana. Ketika itu lalu di jalan raya seorang musafir yang diikuti oleh seekor anjing. Karena anak raja tersebut baru sekali itu melihat anjing, iapun bertanya: "Apakah gerangan yang berlari-lari di belakang orang itu?" "Itulah seekor anjing!" jawab salah seorang pengasuhnva. "Berilah aku seekor anjing. Aku ingin memeliharanya!" seru anak raja itu. Kehendaknya disampaikan orang kepada baginda. Sangat terkejut baginda mendengar keinginan anak baginda itu. Karena kasih akan puteranya, permintaan itu dikabulkan juga, walaupun baginda insyaf, bahwa anjing itu kelak akan membawa bencana. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, maka anak raja itupun dewasalah. Sekarang timbul keinginannya hendak melihat dunia luas. Terasa olehnya bahwa selama ini ia hidup seolah-olah terkungkung dalam sangkar. Mata lepas badan terkurung. Semakin hari semakin keras niatnya akan meninggalkan istana. Tidak putus-putusnya ia memikirkan kebebasannya. Dari percakapan rakyat tahulah, bahwa ia telah diramalkan akan mati disebabkan buaya, ular atau anjing. Namun demikian ia tidak gentar menghadapi hidupnya. Pada suatu hari, tanpa meminta izin dari ayahnya, ia berangkat dengan anjing kesayangannya menuju arah matahari terbit. Setelah melalui padang rumput, hutan belukar dan rimba raya sampailah ia ke sebuah negeri. Dalam negeri itu bertakhta seorang raja yang beranak seorang puteri yang amat cantik dan manis. Puteri baginda itu bersemayam dalam mahligai yang indah, dibangun sedemikian rupa, sehingga amat sulit bagi pemuda-pemuda hendak menjumpai puteri yang cantik itu. Istana itu tinggi benar bertingkat tujuhbelas dan berjendela tujuhbelas pula. Kecantikan tuan puteri termasyhur ke mana-mana dan tidak kurang banyaknya anak-anak raja meminang tuan puteri. Amat sulit bagi raja memilih siapa di antara mereka yang akan menjadi jodoh anak yang sangat dikasihinya itu. Pada suatu malam timbul pikiran sehat, yang dapat melepaskan baginda dari kesulitan itu. Baginda akan mengadakan perlombaan dalam ketangkasan memanjat. Barang siapa dapat memanjat ke tingkat yang teratas, yaitu tempat tuan puteri beradu, maka dialah yang berhak dinikahkan dengan tuan puteri. Sudah banyak anak-anak raja yang mencoba memanjat mahligai itu, akan tetapi sia-sia belaka. Tidak seorangpun yang mencapai tingkat yang tertinggi. Ketika anak raja itu dengan anjingnya berjalan-jalan di kota yang ramai itu, terdengar olehnya bahwa raja sedang mencari suami untuk puterinya. Mendengar berita itu tertarik pula hati anak raja hendak melihat puteri itu. Ingin ia hendak memperlihatkan ketangkasannya. Segeralah ia pergi kemahligai tuan puteri yang indah itu. Ketika tiba di situ lalu dipanjatnya ke tujuhbelas tingkat mahligai itu dengan mudahnya. Tampak kepadanya seorang puteri yang sangat cantik sedang melambai-lambaikan tangan kepadanya. Melihat wajah yang segar dan gelak senyum yang manis, iapun jatuh cinta kepada anak raja itu. Bagaikan kilat tersiar kabar ke seluruh pelosok negeri, bahwa seorang anak raja yang tidak dikenal telah berhasil memenangkan perlombaan memanjat, dan akan menjadi menantu raja. Mendengar peristiwa itu bukan main murka baginda. Baginda tidak setuju mengawinkan puterinya dengan seorang yang tidak dikenal asal usulnya. Raja menitahkan supaya segera mengumumkan, bahwa puterinya tidak diizinkan bersuamikan seorang petualang. Seorang menteri tua datang menyampaikan pendirian baginda kepada tuan puteri. Ketika tuan puteri mendengar sabda baginda., sangatlah ia bersusah hati. Ia cinta dan ingin bersuamikan anak raja itu. Sambil memegang tangan kekasihnya tuan puteri bersumpah di hadapan menteri akan membunuh diri, apabila ia tidak diperkenankan bersuamikan anak raja itu. Segera disampaikan sumpah tuan puteri itu kepada raja. Tidak terkirakan duka cita baginda mendengar kerelaan hati puterinya itu. Sebab yang dikehendaki baginda tidak lain hanyalah agar puterinya mendapat seorang suami yang dicintainya. Segera ke dua anak muda itu dipanggil baginda menghadap ke istana. Bukan kepalang terharu baginda melihat kedatangan ke dua pemuda itu. Dengan gembira baginda bersabda: "Hai anak muda, siapakah tuan ini? Dari manakah tuan datang? Ceritakanlah hal ikhwal tuan!" Anak muda itu menjawab: "Patik adalah anak seorang Maharaja di kerajaan Bahari. Patik hidup terasing karena takdir yang dijatuhkan para ahli nujum. Patik mengembara di alam luas ini, untuk mengadu untung. Akhirnya patik tiba di negeri yang permai ini." Mendengar cerita anak raja itu, hibalah hati baginda, lalu mengawinkan anak raja itu dengan puterinya. Dengan perhelatan yang luar biasa ramainya dilangsungkanlah pernikahan ke dua pengantin itu. Setelah sekian lama ke dua anak muda itu hidup rukun dan damai sebagai dua sejoli, berceritalah anak raja kepada isterinya, tentang tiga ramalan yang menimpa dirinya. Ketika mendengar cerita suaminya itu, tidak terkirakan sedih hati tuan puteri, lalu ia bermohon: "Mengapa tidak kakanda bunuh saja anjing yang kakanda bawa itu? Bukankah anjing itu dapat menyebabkan bencana nanti?" "Anjing ini aku sendiri yang memelihara dan membesarkannya. la sangat setia. la selalu mengikuti aku ke mana juga aku pergi. Anjingku telah menjadi teman karibku yang setia," demikian sahut anak raja itu. Permintaan tuan puteri tidak dikabulkan oleh anak raja itu sebab ia sangat sayang kepada anjingnya. Pada suatu hari anak raja itu bersama-sama isterinya hendak kembali ke negeri tanah tumpah darahnya. Diadakanlah persiapan seperlunya, lalu kedua suami isteri itu memohon diri meninggalkan ayahandanya. Dengan hati pilu baginda melepas kedua anakanda itu berangkat. Mereka melintasi padang, hutan dan rimba raya. Beberapa lama kemudian mereka sampai pada batas sebuah negeri. Raja negeri itu memelihara seekor ular besar yang menjaga kerajaan itu. Karena sangat lelah, tengah malam tertidurlah anak raja itu di bawah sebatang pohon kayu yang rindang. Ketika melihat suaminya tidur dengan nyenyaknya, berjaga-jagalah tuan puteri. Lagi pula ia tahu bahwa di negeri itu ada ular besar penjaga istana raja. Karena takutnya tak dapat tidur. la khawatir akan kebenaran ramalan cerita suaminya. Benar juga dugaannya itu. Sekonyong-konyong tengah malam menjalar seekor ular besar hendak menerkam suaminya. Dengan tangkas tuan puteri melompat. berdiri, lalu menghunus keris pusaka yang diterimanya turun-temurun. Terjadilah perkelahian yang hebat. Dengan gagahnya ular itu dapat ditikamnya hingga mati binasa di tanah. Oleh karena perjuangan yang dahsyat terbangunlah anak raja itu. "Apakah yang terjadi?" tanya anak raja sambil menyapu matanya. Isterinya hanya menunjuk bangkai ular yang bergulung-gulung di tanah. "Ini bahaya pertama yang menimpa kakanda. Mudah-mudahan bahaya selanjutnya dapat kita hindarkan pula dengan selamat." Setelah mengucapkan sukur dan terima kasih atas perlindungan yang maha kuasa, mereka melanjutkan perjalanannya. Tak lama kemudian sampailah mereka pada muara sebuah sungai besar. Tuan puteri merasa cemas melihat sungai yang sangat lebar itu. Terasa oleh tuan puteri seakan-akan sungai itu berkala: "Hai anak raja, kini tibalah ajalmu!" Mendengar bisikan itu takut tuan puteri bertambah-tambah. Akan tetapi suaminya berjalan dengan tenang, seolah-olah tidak ada apa-apa yang akan terjadi. Berkali-kali tuan puteri mengingatkan agar suaminya tetap waspada. Tuan puteri berkata: "Kalau dapat, bunuhlah anjing kakanda itu. Tidak- senang, hati adinda melihatnya. Apabila adinda melihat kesayangan kakanda itu, selalu terbayang pada adinda bahaya yang mengancam kakanda. Oleh sebab itu sekali lagi, bunuhlah anjing itu, demi keselamatan kakanda." Sungguhpun demikian anak raja itu tetap tidak menghiraukan permintaan isterinya. Tiba-tiba anjing itu menyalak dengan garangnya. Bulu lehernya ditegakkannya, ia bersiap hendak menerkam. Belum pernah ia berlaku seperti itu. Tampak olehnya seekor buaya berenang ke tepi sungai. Secepat kilat ia melompat ke dalam air, lalu diterkamnya buaya itu. Perkelahian terjadi dengan hebatnya. Terharu hati anak raja melihat pertarungan yang tidak seimbang itu. Dengan keris pusaka ia terjun ke sungai membela anjingnya. Ke-jadian itu berlangsung sedemikian cepatnya, sehingga tak ada kesempatan bagi tuan puteri akan menghalanginya. Apa hendak dilakukannya sekarang? Segera tuan puteri menghunus kerisnya, melompat ke dalam sungai berjuang membela suaminya. Ia telah bersumpah sehidup semati dengan kekasihnya. Perkelahian makin lama makin bertambah dahsyat. Air berputar-putar dan berbuih-buih dengan gemuruhnya. Sebentar bergolak, sudah itu berpusar-pusar, membuat pusaran air yang berbahaya. Bagaimana akhir perjuangan itu tidak seorangpun yang tahu. Entah siapa yang menang, wallahu alam. Tetapi hingga kini konon kabarnya pertarungan itu masih juga terjadi dengan serunya. Demikianlah agaknya maka air itu sampai sekarang masih juga bergolak dan berpusar-pusar dengan dahsyatnya. Oleh sebab itu pula maka orang di Minangkabau menamai tempat itu "Air Bangis" yang berarti "air bengis". ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================